Minggu, 14 Desember 2014

KH Zaini Mun'im, Seorang Santri Mbah Hasyim

                                 

KH. Zaini Mun’im, pendiri Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Kabupaten Probolinggo. Ia berasal dari Desa Galis, Pamekasan Madura. Lahir pada tahun 1906 silam, putra pertama dari dua bersaudara pasangan KH. Abdul Mun’im dan Ny. Hj. Hamidah ini memiliki nama kecil Abdul Mughni.

Ayahnya, KH. Abdul Mun’im adalah putra Kiai Mudarik bin Kiai Ismail yang merupakan generasi kedua penerus Pesantren Kembang Kuning, Pamekasan Madura. Sedangkan ibunya, Ny. Hj. Hamidah merupakan keturunan Raja Pamekasan melalui jalur KH. Bujuk Azhar atau dikenal dengan Ratoh Sidabulangan, penguasa Kraton Pamekasan Madura.

Tahun 1937, Lora Abdul Mughni, yang juga dikenal dengan nama KH. Zaini Mun’im ini menikah dengan keponakan Kiai Abdul Majid Banyuanyar, Nafi’ah. Dari pernikahannya, ia dikaruniai enam putra dan satu putri. Yaitu, KH. Moh. Hasyim, BA, Alm. Drs. KH. A. Wahid Zaini, SH, Nyai Hj. Aisyah, KH. Fadlurrahman, BA, KH. Moh. Zuhri Zaini, BA, Alm. KH. Abdul Haq Zaini, Lc dan Drs. KH. Nur Chotim Zaini.

Sejak kecil, KH. Zaini Mun’im mendapatkan pendidikan agama dari kedua orang tuanya. Menginjak usia 11 tahun, pada masa penjajahan Belanda, ia sekolah Wolk School (Sekolah Rakyat) selama empat tahun (1917-1921). Selanjutnya, ia memperdalam Al-Qur’an beserta tajwidnya kepada KH. M. Kholil dan KH. Muntaha, menantu Kiai Kholil di Pesantren Kademangan Bangkalan Madura.

Dan tahun 1922, ia melanjutkan ke Pesantren Banyuanyar Pamekasan yang diasuh oleh KH. R. Abdul Hamid dan putranya KH. Abdul Majid. Pada tahun 1925, merantau ke Jawa dan mondok di Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Disini KH. Zaini Mun’im hanya belajar satu tahun, karena ayah tercintanya wafat. Sebagai putra sulung, ia harus pulang ke Madura untuk menggantikan posisi ayahnya.

Di usia 22 tahun, KH. Zaini Mun’im mondok di Pesantren Tebuireng, Jombang yang diasuh oleh KH. Hasyim Asy’ari, tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Di pesantren ini, ia mempertajam ilmu agama dan ilmu bahasa Arab. Pertengahan tahun 1928, ia berangkat ke Mekah untuk berhaji dan menetap di Sifir lain untuk menuntut ilmu, selama lima tahun. Sebelum pulang ke tanah air, ia sempat bermukim di Madinah selama enam bulan untuk ikut berbagai pengajian di Masjid Nabawi dari beberapa ulama terkemuka saat itu.

Ketika awal kedatangannya di Desa Karanganyar Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo, KH. Zaini Mun’im tidak bermaksud mendirikan lembaga pendidikan pesantren. Ia hanya ingin mengisolasi diri dari keserakahan dan kekejaman penjajah untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan ke pedalaman Yogyakarta, menemui teman seperjuangannya.

Tapi sebelum cita-cita luhur itu terealisasi, KH. Zaini Mun’im mendapat amanah dua orang santri. Keduanya mengaji di surau kecil yang berfungsi sebagai tempat shalat, juga ruang tamu, mengajar dan tempat tidur santri. Karena itulah, ia mengurungkan niatnya dan menetap di Desa Karanganyar Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo hingga akhirnya mendirikan Pesantren Nurul Jadid.
Sumber : http://nu.or.id

0 komentar:

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com

Posting Komentar

إِنَّ مِنْ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلْخَيْرِ مَغَالِيقَ لِلشَّرِّ ، وَإِنَّ مِنْ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلشَّرِّ مَغَالِيقَ لِلْخَيْرِ ، فَطُوبَى لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الْخَيْرِ عَلَى يَدَيْهِ ، وَوَيْلٌ لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الشَّرِّ عَلَى يَدَيْهِ
“Sesungguhnya ada orang yang menjadi kunci pembuka bagi kebaikan dan kunci penutup bagi keburukan. Namun ada juga yang menjuadi kunci pembuka bagi keburukan dan kunci penutup bagi kebaikan. Beruntunglah orang yang Allah jadikan kunci kebaikan ada di tangannya, dan celakalah orang yang Allah jadikan kunci keburukan ada di tangannya.” (HR. Ibnu Majah. Dinyatakan shahih oleh Al-Albany dalam Shahih Al-Jami, no. 3986)